CCTV

Selasa, 03 Maret 2015

tentang hadis,ijma dan QIYAS




artikel tentang hadis,ijma dan qiyas

NAMA        : IRWANSYAH
KELAS        : X
JURUSAN   : MULTIMEDIA (A)







smk negeri 1 kuala tungkal



1. Pengertian Al Qur'an secara etimologi (bahasa)
Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al Qur'an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.
2. Pengertian Al Qur'an secara terminologi (istilah islam)
Secara istilah, al Qur'an diartikan sebagai kalm Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah swt.
Al Qur'an adalah murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad saw. Al Qur'an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia. Al Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Di dalam al Qur'an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Al Qur'an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang.
3. Pengertian Al Qur'an menurut Para Ahli
Berikut ini pengertian al Qur'an menurut beberapa ahli :
a. Muhammad Ali ash-Shabuni
Al Qur'an adalah Firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajari al Qur'an adalah ibadah, dan al Qur'an dimulai dengan surat al Fatihah serta ditutup dengan surah an nas
b. Dr. Subhi as-Salih
Al Qur'an adalah kalam Allah swt merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
c. Syekh Muhammad Khudari Beik
Al Qur'an adalah firman Allah yang berbahasa arab diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir ditulis dalam mushaf dimulai surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahawa al Qur'an adalah wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat jibril, disampaikan dengan jalan mutawatir kepada kita, ditulis dalam mushaf dan membacanya termasuk ibadah. Al Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw selama kurang lebih 22 tahun.

Hadits  adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Pengertian Hadits
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dariNabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Struktural Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (hadits riwayat Bukhari)


Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'.
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Jenis-Jenis Hadits Yang Lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat)
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya.
Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi, hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
ijma
Definisi Ijma’
Ijma
 secara etimologi adalah sepakat. Sedangkan menurut ulama ushul fiqihadalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnyaRasulullah atas
hukum syara‟ mengenai suatu kejadian.
 Apabila ada suatu peristiwayang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakatmemustuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijma
kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa
hukum itu adalah hokum syara‟ atas suatu kejadian . dalam definisi disebutkan “setelahwafatnya Rasul” karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukanhukum syara‟, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara‟ juga tidak ada
kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang



Kekuatan Ijma’ Sebagai Hujjah
Bila kekempat unsur ijma‟ tersebut terpenuhi yakni setelah wafatnya Rasul
dapat di data jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai Negara, bangsa dankelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka unutk mengetahuihukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya
Macam-macam Ijma
macam ijma‟ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua
1. Ijma Sharih maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya
2 . Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :a)
Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkanadanya kesepatakanatau penolakan b)
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lamac)
Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebutadalah permasalahanijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalilyang bersifat zhanni.
ijma‟nya.Dengan demikian ijma‟ yang dapat dijadikan argumentasi (
 Hujjah
) hanyalah ijma‟
 para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan
 belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma‟. Akantetapi pada masa tabi‟in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hin
gga sulitmengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama
mengatakan bahwa tidak ada ijma‟ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama,kecuali ijma‟nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak
mungkin
terjadinya ijma‟.
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Rukun Qiyas
Rukun Qiyas ada empat;
Al-ashl (pokok)
Al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik berupa Quran maupun Sunnah.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Al-ashl tidak mansukh. Artinya hukum syara' yang akan menjadi sumber pengqiyasan itu masih berlaku pada masa hidupRasulullah. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
2. Hukum syara'. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara', bukan ketentuan hukum yang lain.
3. Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.
Al-far'u (cabang)
Al-far'u ialah masalah yang hendak diqiyaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Sebelum diqiyaskan tidak pernah ada nash lain yang menentukan hukumnya.
2. Ada kesamaan antara 'illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far'u.
3. Tidak terdapat dalil qath'i yang kandungannya berlawanan dengan al-far'u.
4. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far'u.
Hukum Ashl
Hukum Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dariQuran maupun Sunnah.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Hukum tersebut adalah hukum syara', bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyah atau adiyyah dan/atau lughawiyah.
2. 'Illah hukum tersebut dapat ditemukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami 'illahnya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushshiyyah Rasulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah waftnya Rasulullah, bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan.
'Illah
'Illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
Mengenai rukun ini, agar dianggap sah sebagai 'illah, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Zhahir, yaitu 'illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.
2. 'Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Dalam hal ini, tujuan hukum adalah jelas, yaitu kemaslahatan mukallaf di dunia dan akhirat, yaitu melahirkan manfaat atau menghindarkan kemudharatan.
3. Mundhabithah, yaitu 'illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya.
4. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat uang dipandang sebagai 'illah.
5. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nash hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.


SEMOGA BERMANFA’AT
DAN SEMOGA SUKSES

TERIMA KASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar